Senin, 11 Maret 2019

Unknown

“Kamu senyum sama siapa, na?” tanya faza sambil membalikkan badan ke arah pandangan nana,teman dekatnya di kampus.
“Hem,, tadi ada yang ngeliatin aku mulu, dari jendela ruangan yang ada di belakang kamu, jadi ya,, aku senyumin aja sekali. Sorry ya, jadi kepotong omongan kamu tadi!” jawab nana yang merasa bersalah karena tidak fokus mendengar curhatan faza yang sedang kesal.
“Mana? Kayaknya gak ada orang disana?” tanya faza sambil celingak-celinguk melihat ke arah dalam jendela.
“Gak tau, mungkin udah pergi waktu kamu tanya aku senyum sama siapa tadi.”jawab nana tak peduli.
“Gimana bisa gak tau ? dari tadi kan kamu hadap sana?”tuntut faza dengan wajah yang mulai datar dengan sedikit kerutan di dahinya.
“Iya,, tapi aku langsung liat ke arah kamu saat kamu tanya tadi. Jadi aku gak merhatiin dia lagi. Ya udah deh, lanjut cerita kamu tadi dong.” Jawab nana tegas sambil membujuk faza.
 “Ah,, nanti aja kita sambung, yuk masuk kelas! Bentar lagi juga pelajarannya mau mulai.” Ungkap faza, masih dengan muka datarnya.
Setiba mereka di ruangan kelas, nana mengajak faza duduk di bagian belakang untuk mendengarkan cerita faza yang sempat tertunda. Faza mengikuti nana dengan wajah yang masih merengut.
“Za,, ngapain kesitu? Udah disini aja!” celetuk nana yang sudah duduk di kursi keempat dari sudut ruangan kelas.
“Emang kenapa na? Enakan duduk di paling ujung!”tukas faza sambil meliuk-liukkan alisnya.
“Gak enak ntar ganggu orang yang duduk.”ungkap nana sambil menepuk-nepuk kursi di sampingnya yang akan diduduki faza, sebagai bentuk permintaan maaf serta mempersilakannya duduk layaknya tuan putri, tidak ketinggalan senyuman dengan kerlipan mata manja yang diberikan nana untuk meluluhkan hati faza agar memaafkannya.
“Iya,, iya gak usah lebai deh! Oke, aku maafin.”balas faza sambil duduk di tempat yang dipersilakan nana.
Mereka mengikuti pelajaran dengan seksama walau ada sedikit pikiran yang mengganggu faza. Saat tiba waktu pelajaran usai, faza langsung menarik tangan nana dan membawanya ke taman tempat mereka duduk sebelumnya. Sepanjang jalan nana kebingungan, berulang kali nana menanyakan perihal apa yang membuat faza menariknya dan membawanya tanpa sepatah kata pun.
“Ada apa sih za?” ungkap nana dengan nada kesal
“Na,, kamu beneran senyum  sama orang di balik jendela ruangan itu?”tanya faza menggebu-gebu sambil menunjuk jendela ruangan tadi.
“Iya,, emang kenapa za? Oh,, jangan-jangan laki-laki itu orang yang kamu ceritakan tadi ya? Atau itu mantan kamu? Atau..”nana terdiam karena mulutnya ditutup oleh faza yang kini menatap matanya dengan tatapan yang sangat tajam, seolah menembus retina matanya hingga ke otak. Nana mulai mengernyitkan dahinya dan berusaha melepaskan tangan faza dari mulutnya.
“Kenapa sih za?” nana semakin kesal dengan sikap faza
“Kamu tahu tidak, tadi aku ke ruangan itu karena aku penasaran siapa yang kamu senyumin. Kebetulan aku kenal sama laki-laki yang sedari tadi duduk di pintu ruangan itu. Saat kutanyai, katanya gak ada seorang pun yang keluar masuk ruangan itu sedari tadi.”jelas faza
“Ternyata kamu nyuruh aku nunggu depan kelas, karena kamu mau ke ruangan tadi? Lah,, kok dia bisa bilang gitu? Jadi, kenalanmu ngapain duduk disitu?”tanya nana dengan penuh selidik.
“Dia sedang wifi-an sambil nunggu jam masuk berikutnya, untuk masuk pelajaran di ruangan itu.”jelas faza meyakinkan nana
“Jadi, yang kulihat siapa juga?”bulu kuduk nana mulai berdiri dan  tangannya mulai basah
“Satu lagi, aku baru ingat waktu aku mau duduk di sudut tadi, kamu bilang ‘ntar ganggu orang yang duduk’. Kukira ada temanmu yang minta kosongin satu bangku, barangkali dia bakal telat. Tapi sampai akhir pelajaran tak seorang pun duduk di kursi itu. Aku semakin yakin.”tukas faza dengan mata yang membulat.
“Hah? Kamu ngira gitu? Tapi sebenarnya emang udah ada orang yang duduk di situ saat kita sampai ke kelas. Makanya aku ajak kamu duduk selang satu kursi dengannya?”ucap nana dengan alis setengah terangkat.
“Nah kan, benar dugaanku.”ucap faza lega sekaligus mulai waspada dengan sekitarnya
“Apaan sih za, jadi yang kulihat dari tadi itu siapa?”timpal nana dengan suara gemetar, wajahnya yang mulai pucat dan pandangannya mulai nanar.

#greget
~waktu nulis ngasal, tentang cerita ini. Tiba2 aja ngerasa ada sesuatu beneran. Dan saat ini udah tengah malam tepatnya 00.06 . Mataku mulai melihat suatu pergerakan. Oke enough,  bye 👋 (gk sempat ngedit)

Sabtu, 09 Maret 2019

Wanita penuh luka

   Luka tembaknya sangat banyak, aku terpaku melihat tubuhnya yang penuh dengan lumuran darah yang mengering bercampur lumpur yang juga ikut mengeras. Kain pembungkus luka-luka tersebut satu-persatu mulai dilepas oleh dokter untuk dianalisa dan diobati. Tampak beberapa luka tembak yang cukup parah mulai mengeluarkan darah segar hingga secara otomatis mataku terpejam dan seketika aku merasa kehilangan keseimbangan. Tanpa sadar aku sudah terduduk di lantai, tepat di depan ruangan tindakan utama bagi pasien gawat darurat dengan mata yang masih terpejam dan pikiranku yang juga masih terbayang-bayang akan darah segar yang kulihat tadi. Di samping itu, rasa penasaranku pada wanita itu jauh lebih besar dibandingkan dengan phobia yang kumiliki. Kutarik napas dalam-dalam dan mulai berdiri untuk melihat perkembangan wanita tersebut.
   Namun, yang terlihat kini hanya tirai yang menutupi jendela ruangan tersebut. Tanpa menunggu waktu yang lama, mataku langsung menemukan celah di sudut jendela yang tidak tertutup habis oleh tirai di dalamnya. Dengan begitu aku masih bisa melihat keadaannya. Di sudut ruangan tampak wajah serta lehernya yang sudah tertempel beberapa perban.
   Satu hal yang membuatku terpana saat kutatap lekat-lekat wajahnya dari jarak jauh. Ia sama sekali tidak mengeluarkan suara rintihan saat dokter dan tim medis membersihkan, membelah daging yang terkena luka tembak serta menjahitnya tanpa diberi obat bius sedikitpun. Aku yakin akan hal itu, karena sedari tadi ia hanya mengeraskan rahangnya dan menatap lurus tajam dengan sorot mata yang penuh dendam seakan ia tengah bersiap untuk kembali menyerang para pasukan yang menembakinya serta rekan-rekannya.
   Sudah lima belas menit aku berdiri di depan ruangannya, padahal aku bukanlah walinya ataupun saudaranya. Ini semua hanya karena sebuah kalimat yang terngiang-ngiang di telingaku, saat tanpa sengaja aku mendengar percakapan para perawat yang menjaga ruang Unit Gawat Darurat tentang wanita yang kini aku tunggui layaknya seorang wali.
 “wanita itu akan menjadi saksi pembantaian pasukan jeisho, yang menembaki para korban yang sempat selamat dari kapal rumah sakit yang tenggelam Februari lalu. karena ia merupakan korban satu-satunya yang hidup setelah pembantaian tersebut.” ungkap seorang perawat pada teman perawat lainnya.
 “Bagaimana ia bisa selamat?” temannya mulai heran dan penasaran.
 “Dengar-dengar ia berpura-pura mati saat seluruh juru rawat wanita dipaksa masuk ke dalam air dan diberondong tembakan”jelas perawat pertama.
 “Lalu bagaimana ia bisa kesini? Bukankah penjagaan pasukan jeisho itu sangat ketat?”temannya mulai mengerutkan dahi seakan tak percaya.
 “Ia dibawa oleh salah seorang pasukan  jeisho yang berhasil menangkapnya, setelah wanita itu melarikan diri selama sepuluh hari.”jawab perawat itu dengan sorot mata yang mengisyaratkan rasa kagum.
  "Bagaimana kondisinya? Bukannya ia juga korban pembantaian?”tanya temannya penuh selidik
 “Aku sempat melihat di bahu kirinya terdapat dua balutan kain sepertinya bekas luka tembakan. Selain itu, kaki kanannya juga pincang dan ada balutan kain juga seperti di bahunya. Hanya itu yang terlihat jelas, aku tidak tahu bagian mana lagi yang terluka.”ucap perawat tersebut dengan nada yang lirih.
“Aku yakin pasti masih ada lagi bagian tubuhnya yang terkena goresan peluru yang ditembaki bertubi-tubi”
“Iya, betul. Aku baru ingat, dilehernya juga terdapat sobekan yang lumayan serius.”
“Ya ampun,, tapi dia benar-benar wanita yang beruntung bisa selamat setelah diberondong dengan tembakan seperti itu.”
Apakah mungkin dia juga selamat seperti wanita ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah wanita ini mengenal dia? Pertanyaan-pertanyaan ini langsung muncul saat para perawat itu membicarakan tentang pembantaian jeisho. Hingga saat ini keyakinanku masih tak tergoyahkan walaupun semua orang mengatakan bahwa semua penumpang kapal tersebut telah tiada. Karena aku menemukan kalung namanya di danau dekat rumahnya dan kalung itu selalu ia pakai dan tak pernah ia lepas.

Where are you???

Jumat, 08 Maret 2019

Gadis Peramal (1)

 "Fahza, ibu minta tolong kabari dosen kalau zahra gak bisa masuk untuk sore ini juga untuk beberapa hari ke depan ya nak! " isak tangis ibu zahra terdengar dibalik telpon genggamnya. 
 "Zahra kenapa buk?" suara fahza meninggi dengan mata yang terbuka lebar, dahi yang mengerut dan jemarinya yang mulai mengetuk benda apa pun yang ada di sekitarnya. Kebiasaan ini yang selalu berulang saat ia mulai waspada atau ketakutan. 
 "Kamu kesini aja ya nak, di RS. Sucipto!" ucap ibu zahra yang disusul dengan salam sebagai penutup pembicaraan mereka. 

    Sepanjang perjalanan, memori fahza kembali memutar celetukan zahra beberapa bulan lalu saat mereka tengah duduk di rerumputan samping gedung fakultas mereka sambil menunggu jam pelajaran berikutnya. 

 "Aku merasa ada aura yang tidak enak di semester depan." celetuk sang gadis berwajah mungil sambil tersenyum getir pada temannya. 
 "Emangnya ada pelajaran yang sulit ya? Kok kamu ngerasa aura buruk gitu? " sahut teman dekatnya dengan dahinya yang mulai mengerut serta tatapan yang penuh pertanyaan. 
 "Bukan itu fah, mana ada pelajaran yang beraura buruk. Bagi kamu sih iyaa, haha" jawab zahra sekenanya sambil menutup mulutnya untuk menahan tawa walau anggota badannya tetap berguncang saat tertawa. 
   Fahza mengerucutkan bibirnya dan memutar bola matanya, jengah mendengar ejekan zahra. Karena zahra tahu kalau fahza sangat anti dengan pelajaran yang memiliki banyak tugas atau pun yang membutuhkan bacaan yang banyak untuk memahami satu materi. Namun seketika ia merasa akan terjadi hal buruk pada zahra hingga ia menatap zahra lekat-lekat dengan penuh selidik.

 "Fah,, kamu baik-baik aja? Tampaknya matamu bentar lagi mau keluar loh!" tawa zahra kembali pecah hingga tangannya secara otomatis memegangi mulutnya untuk kembali menahan tawa. Zahra segera bangkit dari tempat duduknya untuk menyusul fahza yang seketika langsung meninggalkannya setelah mendengar ejekan zahra untuk yang kesekian kalinya. 
                                         ...

 "Buk, zahra kenapa?" pertaannya dalam benak fahza langsung diutarakannya pada ibu fahza sesaat setelah sampai di rumah sakit. 
 "Zahra ditabrak orang saat ia mau ke kampus tadi siang nak!" tangis ibu zahra pecah saat menjelaskan kondisi anaknya pada fahza. 

#salamhangat
#cerpenmalamsabtu
#memulaihobinulis