Sabtu, 09 Maret 2019

Wanita penuh luka

   Luka tembaknya sangat banyak, aku terpaku melihat tubuhnya yang penuh dengan lumuran darah yang mengering bercampur lumpur yang juga ikut mengeras. Kain pembungkus luka-luka tersebut satu-persatu mulai dilepas oleh dokter untuk dianalisa dan diobati. Tampak beberapa luka tembak yang cukup parah mulai mengeluarkan darah segar hingga secara otomatis mataku terpejam dan seketika aku merasa kehilangan keseimbangan. Tanpa sadar aku sudah terduduk di lantai, tepat di depan ruangan tindakan utama bagi pasien gawat darurat dengan mata yang masih terpejam dan pikiranku yang juga masih terbayang-bayang akan darah segar yang kulihat tadi. Di samping itu, rasa penasaranku pada wanita itu jauh lebih besar dibandingkan dengan phobia yang kumiliki. Kutarik napas dalam-dalam dan mulai berdiri untuk melihat perkembangan wanita tersebut.
   Namun, yang terlihat kini hanya tirai yang menutupi jendela ruangan tersebut. Tanpa menunggu waktu yang lama, mataku langsung menemukan celah di sudut jendela yang tidak tertutup habis oleh tirai di dalamnya. Dengan begitu aku masih bisa melihat keadaannya. Di sudut ruangan tampak wajah serta lehernya yang sudah tertempel beberapa perban.
   Satu hal yang membuatku terpana saat kutatap lekat-lekat wajahnya dari jarak jauh. Ia sama sekali tidak mengeluarkan suara rintihan saat dokter dan tim medis membersihkan, membelah daging yang terkena luka tembak serta menjahitnya tanpa diberi obat bius sedikitpun. Aku yakin akan hal itu, karena sedari tadi ia hanya mengeraskan rahangnya dan menatap lurus tajam dengan sorot mata yang penuh dendam seakan ia tengah bersiap untuk kembali menyerang para pasukan yang menembakinya serta rekan-rekannya.
   Sudah lima belas menit aku berdiri di depan ruangannya, padahal aku bukanlah walinya ataupun saudaranya. Ini semua hanya karena sebuah kalimat yang terngiang-ngiang di telingaku, saat tanpa sengaja aku mendengar percakapan para perawat yang menjaga ruang Unit Gawat Darurat tentang wanita yang kini aku tunggui layaknya seorang wali.
 “wanita itu akan menjadi saksi pembantaian pasukan jeisho, yang menembaki para korban yang sempat selamat dari kapal rumah sakit yang tenggelam Februari lalu. karena ia merupakan korban satu-satunya yang hidup setelah pembantaian tersebut.” ungkap seorang perawat pada teman perawat lainnya.
 “Bagaimana ia bisa selamat?” temannya mulai heran dan penasaran.
 “Dengar-dengar ia berpura-pura mati saat seluruh juru rawat wanita dipaksa masuk ke dalam air dan diberondong tembakan”jelas perawat pertama.
 “Lalu bagaimana ia bisa kesini? Bukankah penjagaan pasukan jeisho itu sangat ketat?”temannya mulai mengerutkan dahi seakan tak percaya.
 “Ia dibawa oleh salah seorang pasukan  jeisho yang berhasil menangkapnya, setelah wanita itu melarikan diri selama sepuluh hari.”jawab perawat itu dengan sorot mata yang mengisyaratkan rasa kagum.
  "Bagaimana kondisinya? Bukannya ia juga korban pembantaian?”tanya temannya penuh selidik
 “Aku sempat melihat di bahu kirinya terdapat dua balutan kain sepertinya bekas luka tembakan. Selain itu, kaki kanannya juga pincang dan ada balutan kain juga seperti di bahunya. Hanya itu yang terlihat jelas, aku tidak tahu bagian mana lagi yang terluka.”ucap perawat tersebut dengan nada yang lirih.
“Aku yakin pasti masih ada lagi bagian tubuhnya yang terkena goresan peluru yang ditembaki bertubi-tubi”
“Iya, betul. Aku baru ingat, dilehernya juga terdapat sobekan yang lumayan serius.”
“Ya ampun,, tapi dia benar-benar wanita yang beruntung bisa selamat setelah diberondong dengan tembakan seperti itu.”
Apakah mungkin dia juga selamat seperti wanita ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah wanita ini mengenal dia? Pertanyaan-pertanyaan ini langsung muncul saat para perawat itu membicarakan tentang pembantaian jeisho. Hingga saat ini keyakinanku masih tak tergoyahkan walaupun semua orang mengatakan bahwa semua penumpang kapal tersebut telah tiada. Karena aku menemukan kalung namanya di danau dekat rumahnya dan kalung itu selalu ia pakai dan tak pernah ia lepas.

Where are you???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar